Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Pengikut

RSS

Sahabat

Sahabat adalah teman yang selalu ada.
Mengerti dan memahami kita dalam setiap kondisi.
Saling menyapa dan mengingatkan dalam kebaikan.
Mungkin kita takkan bisa selalu bersama.
Mungkin jarak dan waktu akan memisahkan kita.
Tapi ingatlah, kalian akan selalu ada di hatiku.
Sahabat-sahabatku.....

You'll always be a part of me...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KECERDASAN


Kecerdasan
ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa IQ merupakan usia mental yang dimiliki manusia berdasarkan perbandingan usia kronologis.
Faktor yang memengaruhi kecerdasan
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kecerdasan, yaitu:
-       Faktor Bawaan atau Biologis
Dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan.
-       Faktor Minat dan Pembawaan yang Khas
Dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
-          Faktor Pembentukan atau Lingkungan
Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.
-          Faktor Kematangan
Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
-          Faktor Kebebasan
Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya

Pengukuran taraf kecerdasan
Salah satu uji kecerdasan yang diterima luas ialah berdasarkan pada uji psikometrik atau IQ. Pengukuran kecerdasan dilakukan dengan menggunakan tes tertulis atau tes tampilan (performance test) atau saat ini berkembang pengukuran dengan alat bantu komputer. Alat uji kecerdasan yang biasa di pergunakan adalah :
  • Stanford-Binnet intelligence scale
  • Wechsler scales yang terbagi menjadi beberapa turunan alat uji seperti :
    • WB (untuk dewasa)
    • WAIS (untuk dewasa versi lebih baru)
    • WISC (untuk anak usia sekolah)
    • WPPSI (untuk anak pra sekolah)
  • IST
  • TIKI (alat uji kecerdasan Khas Indonesia)
  • FRT
  • PM-60, PM Advance
Dalam Eutyphron, Plato mengungkapkan sebuah dialog ketika Socrates bertanya kepada Eutyphro, “Aku ingin tahu apa yang merupakan karakteristik dari kesalehan (piety, ada pula yang menerjemahkannya dengan goodness/kebaikan) yang membuat seluruh tindakan menjadi saleh … yang dapat aku rujuk dan aku pergunakan sebagai pedoman untuk menilai tindakan-tindakanmu dan tindakan-tindakan orang lain.” Dengan kata lain, Socrates menanyakan suatu ‘algoritma’ yang membedakan antara pikiran dan perbuatan yang saleh/baik, dari pikiran dan perbuatan yang tidak saleh/tidak baik, dengan ini ia sekaligus mendefinisikan kecerdasan secara bersahaja namun dengan makna yang dalam. Aristoteles kemudian mengerjakan pekerjaan rumahnya ini dengan memformulasikan seperangkat kaidah-kaidah formal yang mengatur alur penalaran pikiran rasional yang saleh sebagai apa yang kemudian kita sebut logika. Aristoteles mengembangkan sebuah sistem silogisme formal untuk alur penalaran yang valid, yang secara prinsip memungkinkan seseorang untuk memperoleh kesimpulan yang benar dari premis-premis awalnya.

Nampak jelas di sini bahwa gagasan tentang kecerdasan yang merupakan kemampuan untuk berpikir dan melakukan tindakan-tindakan yang benar/saleh–dalam konteks praktis: problem-solving capacity–dirumuskan dalam kemampuan untuk berpikir menurut kaidah-kaidah formal penalaran yang baik: kemampuan untuk berpikir logis. Tapi pekerjaan rumah Aristoteles tidak berhenti di sini, karena ia pun meyakini adanya suatu fakultas penalaran intuitif dalam diri manusia, yang juga saleh tapi tidak dalam konteks logikanya. Kita merasakan adanya sebuah reduksi nuansa makna dalam yang kemudian berlanjut hingga peradaban modern kini, karena kesalehan dalam pertanyaan Socrates agaknya tidak hanya dalam nuansa praktis (saleh dalam pengertian misalnya ketika menyeberang lihat kiri-kanan, ketika ada ancaman menghindar, ketika ada sesuatu merespon dengan sesuatu itu dengan tepat, dll.), namun juga dalam nuansa lain yang tidak dapat kita temukan hanya melalui pengelaborasian sisi eksistensi manusia saja.

IQ, EQ, dan SQ

Memasuki abad ke-20 kita mengenal sebuah istilah populer yang berkaitan dengan kecerdasan IQ, Intelligent Quotient. Sekarang ini hampir sulit menemukan ada istilah lain selain IQ yang demikian sangat mempengaruhi seseorang dalam memandang diri mereka sendiri dan orang lain. Adalah psikolog berkebangsaan Prancis, Alfred Binet, yang pada tahun 1905 menyusun suatu test kecerdasan terstandardisasi untuk pertama kalinya. Berbeda dengan bagaimana IQ diposisikan kini dalam cara masyarakat memandang dan mengklasifikasikan individu-individu, pada awalnya Binet justru merancang test kecerdasannya ini untuk mengidentifikasi pelajar-pelajar di sekolahnya saat itu yang membutuhkan bantuan khusus, dan bukannya untuk mencari anak-anak yang berbakat luar biasa seperti yang berlangsung di kemudian hari. Lebih jauh lagi, Binet berusaha untuk memastikan bahwa anak-anak yang memiliki persoalan-persoalan dalam perilaku ini tidak lantas dianggap secara terburu-buru hanya sebagai orang yang bodoh/tidak cerdas.
Test yang dikembangkan oleh Binet ini tak lama kemudian disusun kembali oleh Lewis Terman, seorang profesor dalam bidang psikologi dari Stanford University di US. Terman menggagaskan untuk memformulasikan suatu skor nilai yang disebutnya sebagai IQ–Intelligent Quotient–yang diperoleh dengan cara membagi ‘umur mental’ seseorang (yang didapat dari test kecerdasan Binet) dengan umurnya yang sebenarnya atau umur kronologisnya.
Sekarang metoda test IQ masih digunakan terutama–seperti yang pertama kali diharapkan oleh Binet–untuk keperluan membantu para pelajar yang memerlukan pelajaran tambahan dan perhatian ekstra.
Pandangan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teori kecerdasan abad ke-19–paduan antara sains dan sosiologi–yang dipelopori oleh sepupu Charles Darwin, Francis Galton, pada akhir abad ke-19 secara terpisah dari apa yang dikerjakan Binet saat itu. Galton juga meyakini bahwa jika orang-orang yang memiliki banyak atribut kecerdasan ini dapat diidentifikasi dan diletakkan dalam jabatan-jabatan kepemimpinan yang strategis, maka seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh manfaatnya. Ketika itu juga berkembang paham eugenics–populer di Eropa dan US sebelum akhirnya Hitler menyadarkan mereka betapa mengerikannya gagasan itu–yang meyakini bahwa kecerdasan pada umumnya diwariskan lewat garis keturunan dan oleh karena itu orang-orang yang kurang cerdas harus didorong agar tidak melakukan reproduksi. Gerakan ini juga menggunakan IQ sebagai metoda justifikasinya.

Meritokrasi–yang jika diterjemahkan dalam prasangka baik–pada dasarnya bertujuan untuk mengaktualisasikan dan mengoptimalkan potensi-potensi setiap warga negaranya demi kepentingan bersama, karena satu dan lain hal, menyebabkan terbentuknya kelas-kelas status sosial serta memperlebar jurang antar kelas. Ironis sekali bahwa gagasan yang pada dasarnya cukup baik ini, terpaksa harus membatasi kesempatan banyak orang hanya karena potensi-potensi mereka tidak terukur oleh metoda test kecerdasan konvensional–test IQ. Hal ini melahirkan gelombang gerakan protes dan kritik dari berbagai kalangan, yang sebenarnya telah bermula sejak gagasan IQ diterima kalangan luas. Gerakan anti-IQ yang paling signifikan terjadi di Inggris sekitar tahun 1960-an. Ketika itu, mengadopsi sistem seleksi berbasis IQ yang sangat ketat bagi anak-anak berumur belasan tahun yang masuk ke sekolah-sekolah negeri. Gerakan ini secara umum tidak ditujukan pada metoda itu sendiri, namun pada penerapannya yang kurang bijaksana. Jadi secara konseptual, masyarakat luas tetap menyadari arti penting aspek kecerdasan ini sebagai satu-satunya aspek yang dominan dalam mengkarakterisasi diri manusia. Kritik terhadap IQ sendiri tidak menjadi pendorong yang utama untuk gerakan anti-IQ yang justru semakin meluas memasuki dekade berikutnya.

Bahkan pada tahun 1971 US Supreme Court telah memutuskan untuk menghapuskan penggunaan metoda test IQ untuk masalah-masalah perekrutan dan kepegawaian, kecuali dalam kasus-kasus tertentu.
Yang perlu ditekankan di sini bukanlah pada betapa test IQ itu ternyata kurang efektif dalam menyeleksi orang berdasarkan aspek kecerdasannya saja, namun pada betapa konsep kecerdasan ini telah membentuk konsepsi diri manusia yang parsial dan reduksionistik–sebagai akibat dari ketiadaan konsep diri manusia seutuhnya dalam tradisi filosofis dan budaya barat yang berlaku saat itu hingga kini. Barangkali akan lain halnya, jika konsep dan metoda test kecerdasan IQ ini muncul dalam tradisi filosofis yang memandang potensi-potensi diri manusia secara utuh. Besar kemungkinannya gagasan IQ ini akan melengkapi konsepsi integral yang ada ke dalam sebuah kerangka kerja yang koheren dengan sebuah metoda praktis yang akan bermanfaat dalam memahami dan menyelidiki fenomena kesadaran manusia lebih jauh lagi.
Meski respon kritis secara teoritik atas penaksiran kecerdasan berbasis IQ ini telah muncul sejak sebermula awal masa kelahirannya, namun baru satu dekade akhir abad ini kita mengenal suatu rumusan-rumusan psikologi populer yang mengemas kontribusi-kontribusi studi dan riset dari para penyelidik kecerdasan sebelumnya dengan cukup baik. Dalam awal tahun 1990-an kita mengenal istilah Emotional Intelligence diusulkan oleh Daniel Goleman. Belakangan ini menjadi populer pula istilah Spiritual Intelligence, yang diusulkan oleh pasangan Danah Zohar dan Ian Marshall. Meski secara esensial tidak terdapat sebuah terobosan ilmiah yang betul-betul baru dalam gagasan-gagasan mereka ini, namun para pakar ini telah berhasil mensintesakan, mengemas, dan mempopulerkan sekian banyak studi dan riset terbaru di berbagai bidang keilmuan ke dalam sebuah formulasi yang cukup populer untuk menunjukkan bahwa aspek kecerdasan manusia ternyata lebih luas dari sekedar apa yang semula biasa kita maknai dengan kecerdasan.

Goleman mempopulerkan pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut. Ia menyebutnya dengan istilah kecerdasan emosional dan mengkaitkannya dengan kemampuan untuk mengelola perasaan, yakni kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut, kemampuan untuk berempati, dll. Jika kita tidak mampu mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan mampu untuk menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif, demikian menurut Goleman.

Sementara itu Zohar dan Marshall mengikutsertakan aspek konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses berpikir/berkecerdasan dalam hidup yang bermakna, untuk ini mereka mempergunakan istilah kecerdasan spiritual (SQ). Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini dalam pandangan mereka meliputi kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung untuk memandang sesuatu secara holistik, serta berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya, dll. Sebagai konsekuensi melibatkan konteks nilai dan makna dalam aspek berkecerdasan manusia, maka SQ sebetulnya mengalamati pelik-pelik ontologis dan epistemologis dalam mencermati aspek-aspek kecerdasan/kesadaran diri manusia secara utuh. Di sini barangkali kita bisa berharap akan adanya sebuah sintesa bangunan kerangka kerja yang koheren dan komprehensif untuk mendekati konsepsi diri manusia dengan segenap aspek-aspeknya yang tak terpisahkan, meskipun pada kenyataannya Zohar tidak menyelesaikan masalah ini dengan cukup terperinci dan lebih memusatkan perhatiannya pada aspek-aspek aplikasi praktisnya.

Namun, EQ dan SQ ini pun pada dasarnya tidak akan banyak membantu kita–yang telah terbiasa memahami apa-apa yang berlangsung di dalam benak kita dalam istilah-istilah intelligent dan quotient–seandainya kita tidak memiliki visi yang fundamental dan menyeluruh dalam memandang aspek-aspek kedirian manusia secara utuh. Kita menyadari bahwa gelombang antusiasme yang berlebihan terhadap kedua formulasi kecerdasan ini alih-alih bermanfaat, mungkin malah akan berbalik membatasi dan mematikan banyak aspek dan potensi manusia yang belum terjamah. Di sisi lain, kita dituntut untuk sedapatnya memanfaatkan formulasi kecerdasan ini dalam rangka membangun sebuah konsepsi manusia yang utuh, radikal dan fundamental serta menerjemahkannya secara strategis dalam langkah-langkah praktis agar dapat mengatasi masalah-masalah aktual di negeri kita.
 
Neuroscience dan Kesadaran Manusia

Seperti telah terungkap di atas, secara umum EQ dan SQ memiliki kesepakatan untuk memandang aspek-aspek kecerdasan manusia lebih dari sekedar aspek kognitif konvensional yang terukur dengan metoda test IQ. Keduanya pun sama-sama dirumuskan berdasarkan hasil-hasil penelitian dalam bidang psikologi dan neuroscience terbaru, yang semakin berkembang terutama akibat kemajuan teknologi instrumentasi kedokteran yang dapat mengamati aktivitas-aktivitas vital sistem syaraf pusat dan organ-organ lainnya dengan metoda visualisasi yang cukup canggih. Hasil-hasil penelitian ini, terutama dalam bidang neuroscience, digunakan sebagai basis untuk mendukung formulasi-formulasi EQ dan SQ. Sementara EQ merujuk pada penemuan-penemuan penting dari Joseph LeDoux tentang fungsi organ amigdala pada batang rongga otak, maka SQ merujuk pada hasil-hasil penelitian terutama dari Rudolfo Llinas tentang proses-proses gelombang elektromagnetik (electroencephalogram dan magnetoencephalogram) syaraf pusat yang berfungsi sebagai pengintegrasi persepsi.

LeDoux mengamati bahwa gejala-gejala emosi yang sebelumnya dianggap berlangsung sebagai akibat dari aktivas-aktivitas fungsional otak besar, neokorteks dan sistem limbik, ternyata sebagian besar berlangsung pula sebagai akibat dari organ amigdala yang terletak di bagian dalam tengah otak kita. Dalam eksperimennya, LeDoux mengamati bahwa organ ini mengalami peningkatan aktivitas seiring dengan respon-respon emosional manusia. Ketika syaraf sensorik kita teraktivasi oleh respon inderawi dari luar (misalnya retina mata kita yang menerima cahaya/objek visual dan mengaktifkan syaraf optik), maka impuls syaraf ini akan diterima oleh thalamus–sebuah bagian di dalam otak yang menerjemahkan stimuli impuls syaraf menjadi bentuk-bentuk yang dipahami oleh otak–untuk memudian diterima oleh neokorteks dan korteks visual yang mengolahnya dan merangsang amigdala apabila stimulinya bersifat emosional. Namun ternyata menurut LeDoux, sebagian besar sinyal semula dari thalamus ini langsung menuju amigdala tanpa melewati neokorteks/tanpa melalui proses konvensional, dengan transmisi yang lebih cepat sehingga memungkinkan terjadinya respon yang lebih cepat (meskipun relatif kurang akurat). Jadi LeDoux meyakini bahwa amigdala dapat memicu suatu respon-respon yang terkait dengan aktivitas emosional sebelum otak besar kita memahami betul apa yang terjadi, bahkan lebih jauh lagi sistem emosi ternyata dapat bekerja sendiri tanpa partisipasi kognitif: perasaan memiliki kecerdasannya sendiri. Bukti ilmiah inilah yang dijadikan sebagai pendukung argumentasi Goleman bahwa EQ adalah syarat utama penggunaan IQ secara efektif, yang kemudian mengkaitkan beberapa sikap mental tipikal yang terkait dengan EQ–kesadaran untuk memahami perasaan diri sendiri dan orang lain, empati, kasih-sayang, motivasi, serta kemampuan untuk merespon secara wajar atas situasi-situasi bahagia atau sedih.
Sistem ‘kognisi’ emosional yang dijelaskan oleh LeDoux terjadi melalui aktivitas-aktivitas fungsional organ-organ syaraf pusat di kepala kita, terbentuk dari suatu interaksi paralel dari ratusan ribu jalinan sel syaraf yang terhubung dan bekerja secara paralel dalam suatu kumpulan jaringan syaraf yang amat masif. Jaringan syaraf inilah yang melandasi dinamika sistem emosional sebagaimana yang diungkapkan oleh Goleman. Menurutnya, jaringan yang bekerja secara paralel ini bertanggung jawab terhadap aspek-aspek kecerdasan emosional yang seluruhnya terkait dengan dorongan-dorongan perasaan, pembentukan kebiasaan/habituasi, dan pengenalan pola-pola. Mekanisme syaraf yang paralel ini melengkapi mekanisme lintasan-lintsan jalur syaraf yang terhubung secara serial yang memungkinkan otak besar kita untuk menelusuri aturan-aturan, untuk berpikir secara logis dan rasional, dan sekuensial yakni aspek-aspek kognisi yang biasa kita kaitkan dengan kecerdasan IQ.


Daftar Pustaka:
1.        Bateson, Gregory; Steps to an Ecology of Mind. New York: Ballantine, 1972
2. Bateson, Gregory; Mind and Nature. New York: Ballantine, 1979
3. Capra, Fritjof; The Web of Life, HarperCollins, London, 1996
4. Goleman, Daniel, Kecerdasan Emosional (terjemahan), cet. VII, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997
5. LeDoux, Joseph; Emotion, Memory and The Brain, Scientific American, edisi June, 1994
6. Llinas, Rudolfo dan Urs Ribary; Coherent 40-Hz Oscillation Characterizes Dream State in Humans, Proceeedings of The National Academy of Science, USA, 1993
7. Maturana, H. R. dan F. J. Varela; Autopoiesis: The Organization of the Living, dalam “Autopoiesis and Cognition: The Realization of the Living”, Dordrecht: D. Reidel Publishing Company, 1973
8. Prigogine, Ilya dan Isabelle Stengers; Order out of Chaos, New York: Bantam Books, 1984
9. Russel, Stuart and Peter Norvig; Artificial Intelligence: A Modern Approach, Prentice-Hall Inc., New Jersey, 1995
10.Zohar, Danah and Ian Marshall, Spiritual Intelligence : The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000

                        http://id.wikipedia.org/wiki/Abstrak
                         http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/kecerdasan-iq-eq-dan-sq/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS